Nama : Desima Happy
NPM : 21210840
2EB21
Hukum Perikatan
1.
Pengertian Hukum
Perikatan
Pengertian
Hukum Perikatan adalah Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver
bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di
Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu
terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat
berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya
lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya;
letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak
rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam
kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat
sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang
terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu
hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di
mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum,
akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum
keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam
bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata,
pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara
dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian
mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan
hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana
pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas
suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu
hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan
itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur)
mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap
pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan
suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda
yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban
untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan
di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan
yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak
dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk
mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu
perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah
demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang
terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat
mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan
bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
2.
Dasar Hukum
Perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber yaitu :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan.
2.
Perikatan yang timbul dari undang – undang
3.
Perikatan terjadi bukan perjanjian
Dalam
berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-
macam
istilah untuk menterjemahkan verbintenis danovereenkomst, yaitu :
- Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.
- Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakaiistilah Perutangan untukverbintenis dan perjanjian untukovereenkomst.
- Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa dalam
bahasa
Indonesia dikenal tiga istilah terjemahan bagi ”verbintenis” yaitu :
- perikatan
- perutangan
- perjanjian
Sedangkan
untuk istilah ”overeenkomst” dikenal dengan istilah
terjemahan
dalam bahasa Indonesia yaitu :
perjanjian
dan persetujuan.
Untuk
menentukan istilah apa yang paling tepat untuk digunakan
dalam
mengartikan istilah perikatan, maka perlu kiranya mengetahui makna nya.
terdalam arti istilah masing-masing.Verbintenis berasal dari kata kerja
verbinden
yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini istilah verbintenis
menunjuk
kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”. maka hal ini dapat dikatakan sesuai
dengan definisiverbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan
tersebut di atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan sebagai istilah
perikatan. sedangkan untuk istilah overeenkomst berasal dari dari kata kerja
overeenkomen yang artinya ”setuju” atau ”sepakat”. Jadiovereenkomst mengandung
kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena
itu istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat
tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka istilahovereenkomst lebih tepat
digunakan untuk mengartikan istilah persetujuan.
3
Asas Asas Hukum Perikatan
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam
Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualisme.
• Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal
1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat
adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
• Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu
lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal
yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata
Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata sepakat antara para pihak
yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu
perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah
dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai suatu hal tertentu,
artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan
harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap
pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal
4. Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya
isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh
undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
4.
Wanprestasi
Ada tiga bentuk wanprestasi yaitu :
1). Tidak memenuhi prestasi sama sekali
2). Terlambat memenuhi prestasi.
3). Memenuhi prestasi secara tidak baik.
1). Tidak memenuhi prestasi sama sekali
2). Terlambat memenuhi prestasi.
3). Memenuhi prestasi secara tidak baik.
Dalam hal penetapan lalai, menggingat adanya bentuk wanprestasi, maka penetapan lalai ada yang diperlukan dan ada yang tidak dibutuhkan :
Apabila debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali maka pernyataan lalai tidak diperlukan, kreditur langsung minta ganti kerugian. Dalam hal debitur terlambat memenuhi prestasi maka pernyataan lalai
diperlukan karena debitur dianggap masih dapat berprestasi.
Kalau debitur keliru dalam memenuhi prestasi, Hoge
Raad berpendapat pernyataan lalai perlu tetapi Meijers berpendapat lain,
apabila karena kekeliruan debitur kemudian terjadi pemutusan perjanjian yang
positif, pernyataan lalai tidak perlu.
Pemutusan perjanjian yang positif adalah dengan prestasi debitur yang keliru itu menyebabkan kerugian kepada milik lainya dari kreditur, misalnya dipesan Jeruk Bali dikirim Jeruk jenis lain yang sudah busuk hingga menyebabkan jeruk-jeruk lainnya dari kreditur menjadi busuk.
Sedangkan pemutusan perjanjian yang negatif adalah dengan prestasi debitur yang keliru tidak menimbulkan kerugian pada milik laiin kreditur.
Dalam hal ini maka pernyataan lalai diperlukan.
Wanprestasi membawa akibat yang merugikan bagi debitur karena
sejak saat itu debitur harus :
1). Mengganti kerugian
2). Benda yang dijadikan objek dari perikatan sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur.
3). Jika perikatan itu timbul dari perjanjian yang timbal balik, kreditur dapat
meminta pembatalan (pemutusan) perjanjian.
Dalam hal debitur melakukan wanprestasi maka kreditur dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan sebagai berikut :
1). Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian.
2). Dapat menuntut pemenuhan perjanjian.
3). Dapat menuntut penggantian kerugian.
4). Dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian.
5). Dapat menuntut pemenuhan dan pengganti kerugian.
5. Hapusnya Hukum Perikatan
Hapusnya Hukum Perikatan pasal 1381:
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Pembaharuan utang
4. Perjumpaan utang atau kompensasi
5. Percampuran utang
6. Pembebasan utang
7. Musnahnya barang yang terutabf
8. Kebatalan atau pembatalan
9. Berlakunya suatu syarat batal
10. Lewatnya waktu.
1. Pembayaran
Setiap pemenuhan prestasi yang dilakukan secara sukarela
Pengertian pembayaran dalam arti sempit: dilakukan oleh debitur, pembeli, penyewa, penjamin
Dalam arti luas: prestasi yang harus dilakukan oleh penjual (penyerahan barang)
Dalam pasal 1382 BW diatur bahwa yang berhak melakukan pembayaran adalah pihak ketiga yang tidak berkepentingan (penanggung, penjamin) yang:
- Bertindak atas nama debitur dan melunasi hutang debitur
- Bertindak atas namanya sendiri dan tidak menggantikan kedudukan kreditur (pemberian sukarela)
Dalam hal ini pihak ketiga jenis ini tidak berlaku dalam perikatan untuk berbuat sesuatu hal
Perjanjian untuk melakukan sesuatu tidak bisa dialihkan kepada orang lain
1. Suatu pembayaran dianggap sah apabila dilakukan untuk pemilik dari barang yang dibeli (oleh pembeli) dan berkuasa untuk memindahtangankannya
2. Dilakukan dengan itikad baik kepada pemegang surat piutang yang bersangkutan
3. Pembayaran dianggap sah apabila kreditur sungguh-sungguh mendapat manfaat dari pembayaran tsb meskipun kreditur tsb tidak jahat.
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3. Pembaharuan utang
4. Perjumpaan utang atau kompensasi
5. Percampuran utang
6. Pembebasan utang
7. Musnahnya barang yang terutabf
8. Kebatalan atau pembatalan
9. Berlakunya suatu syarat batal
10. Lewatnya waktu.
1. Pembayaran
Setiap pemenuhan prestasi yang dilakukan secara sukarela
Pengertian pembayaran dalam arti sempit: dilakukan oleh debitur, pembeli, penyewa, penjamin
Dalam arti luas: prestasi yang harus dilakukan oleh penjual (penyerahan barang)
Dalam pasal 1382 BW diatur bahwa yang berhak melakukan pembayaran adalah pihak ketiga yang tidak berkepentingan (penanggung, penjamin) yang:
- Bertindak atas nama debitur dan melunasi hutang debitur
- Bertindak atas namanya sendiri dan tidak menggantikan kedudukan kreditur (pemberian sukarela)
Dalam hal ini pihak ketiga jenis ini tidak berlaku dalam perikatan untuk berbuat sesuatu hal
Perjanjian untuk melakukan sesuatu tidak bisa dialihkan kepada orang lain
1. Suatu pembayaran dianggap sah apabila dilakukan untuk pemilik dari barang yang dibeli (oleh pembeli) dan berkuasa untuk memindahtangankannya
2. Dilakukan dengan itikad baik kepada pemegang surat piutang yang bersangkutan
3. Pembayaran dianggap sah apabila kreditur sungguh-sungguh mendapat manfaat dari pembayaran tsb meskipun kreditur tsb tidak jahat.
4. Pembayaran harus diberikan :
- oleh kreditur
- kuasa dari kreditur
- kepada orang yang ditunjuk oleh hakim atau UU untuk menerima pembayaran
- Bukan kuasa dari kreditur tetapi kreditur telah menyetujuinya atau kreditur nyata-nyata mendapat manfaat darinya. Mis: kasir, tukang tagih
5. Pembayaran tidak boleh dilakukan sebagian-sebagian jika masing-masing pihak, hanya ada seorang debitur atau seseorang kreditur tetapi pada kenyataannya ada yang melakukan pembayaran sebagian-sebagian
6. Tempat pembayaran dilakukan di tempat yang sudah diperjanjikan tetapi jika tidak ditentukan tempatnya maka salah satu tempat yang dipilih:
a. Tempat dimana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat
b. Tempat tinggal kreditur sewaktu perjanjian dibuat
c. Tempat tinggal debitur, hanya untuk utang wesel.
7. Biaya untuk menyelenggarakan pembayaran dipikul oleh debitur (1395 BW) (aturan pelengkap)
8. Dalam pembayaran secara berkala (cicil) dikenal (digunakan persangkaan menurut UU) apabila bukti pembayaran 3 kali angsuran berturut-turut kalau dapat dibuktikan telah dilakukan maka oleh UU disimpulkan bahwa angsuran-angsuran sebelumnya sudah terbayarkan seluruhnya. Mis:kuti januari, februari, maret ada tanda bukti maka dianggap sebelum bulan itu adalah lunas.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti penyimpanan/penitipan.
Apabila kreditur menolak untuk menerima pembayaran, dengan penitipan di pengadilan maka dianggap perjanjian berakhir, perikatan yang berlaku adalah perikatan untuk kepentingan umum.
3. Pembaharuan Utang ( Novasi ) :
a. Novasi objektif yaitu debitur membuat perikatan utang baru untuk mengganttikan utang lama, sehingga utang lama lunas/berakhir utang yang dibuat adalah 2 utang yang tidak sama jenis. Jika A(d) dan B(k) ada perjanjian jual beli secara cicil jika bulan depan tidak dibayar maka A(d) membayar jual beli dengan mengadakan perjanjian kredit dengan C (pihak ketiga)
b. Novasi Subyektif yang diperbaharuhi adalah subyek-subyeek dalam perjanjian (debitur dan kreditur). Novasi ini dibagi 2:
Novasi subyektif aktif.
Kreditur baru ditunjuk menggantikan kreditur lama sehingga perikatan antara K lama
dan D lama diganti.
Novasi subyektif pasif.
D baru ditunjuk untuk menggantikan D lama sehingga perikatan antara D. lama dan K
lama berakhir. Jaminan selalu merupakan peerjanjian pengikut (perjanjian Assecoir).
4. Perjumpaan utang/kompensasi intinya adalah penghapusan utang dengan cara memperhitungkan secara timbal balik antara debitur dan kreditur
Syaratnya:
a. jumlah yang harus dibayarkan oleh para pihak diteetapkan sama besarnya
b. utang/piutang tsb sudah bisa ditagih seketika (harus tenggat waktunya pembayaran utang sama dengan tanggalnya).
5. Percampuran utang
Dalam kasus kedudukan kreditur dan debitur berada pada satu orang sehingga demi hukum atau oomatis terjadi suatu percampuran utang dan perikatan tsb dihapuskan . Jumlahnya tidak harus sama dan tenggat waktunya tidak harus sama.
6. Penghapusan utang/pembebasan
Kreditur dengan tegas tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran/pemenuhan perjanjian harus dibuktikan tidak boleh menggunakan persangkaan harus dinyatakan dengan tegas.
7. Musnahnya barang yang terutang (Objek perikatan)
Apabila obyek perikatan musnah, hilang , tidak dapat dipertahankan dan kesemuanya terjadi bukan akibat kelalaian debitur mengakibatkan terhapusnya perikatan. Maka masing-masing pihak akan menanggung kerugian , meskipun karena kelalaian debitur menyerahkan obyek perikatan maka jika debitur dapat membuktikan bahwa kelalian tsb terjadi di luar kekuasaannya atau berada di tangan kreditur maka debitur dibebaskan dari ganti rugi.
Sumber :
velanthin.blogspot.com/2011/03
arisastia.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar